Jumat, 17 Februari 2012

Telingaku (Cerpen #1)

Author    : Alifah Inas Apriliana (No Copas)
Sumber  : dari sebuah cerita yang pernah dibawakan oleh seseorang ketika renungan tetapi banyak yang aku edit


Bagas, pria berusia 19 tahun yang kini tengah menjalani studinya di Universitas Bintang. Dia berasal dari keluarga yang berada. Dia menjadi dambaan setiap wanita di kampusnya. Selain wajahnya yang tampan, ia juga cerdas da sopan. Yah bisa dibilang sempurna namun tetap memiliki kekurangan yang tidak diketahui orang.
Matahari menerobos dinding kamar Bagas yang berbaur warna ungu itu. Bi Mirna, PRT keluarga Bagas pun membangunkan majikannya itu karena ada jadwal kuliah pagi.
“Den, Den Bagas, bangun Den, sudah pagi,” ucap Bi Mirna sambil mengguncangkan tubuh Bagas pelan.
“Jam berapa, Bi?” tanyanya dengan mata masih terpejam.
“Jam 07.15, Den,”
“Hah? Kok Bibi baru bangunin sih, aku udah telat banget Bi,” jawabnya langsung bangun dan mengambil handuk lalu ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya itu.
“Maaf Den, Bibi lupa. Ya sudah, Bibi mau ke dapur dulu,” kata Bi Mirna.
“Iya Bi, makasih,”
Lima belas menit, Bagas telah siap di dalam mobilnya. Lalu setelah berpamitan dengan orangtuanya, ia bergegas ke kampus yang berjarak kurang lebih 35 km itu.
Namun karena terburu-buru ketika hampir sampai di kampus tiba-tiba ia menabrak seorang pemuda yang hendak menyebrang. Bagas turun dan melihat keadaannya.
“Aduh, maaf Mas, saya nggak sengaja,” ucap Bagas.
“Gak pa-pa kok,” ucap orang itu.
“Sekali lagi maaf. Kalo boleh tau, Mas mau kemana?” tanya Bagas.
“Ke kampus, dekat kok, kira-kira 300 meter dari sini,” jawab orang itu.
“Lhoh berarti kita satu kampus dong, jurusan apa Mas?” Bagas.
“Hukum, Mas sendiri?” orang itu.
“Teknologi, Mas,” Bagas.
“Jangan panggil mas, panggil saja Alde,” Alde.
“Oh, oke. Saya Bagas. Ya udah kalo gitu, kita bareng aja, ayo,”
Mereka pun ke kampus bareng walau hanya tinggal 300 meter. Tak lama mereka tiba di kampus.
“Oiya, De, gue minta nomer hp lo dong,”
“Aku nggak punya hp, Gas,”
“Hah? Masa sih?!”
“Iya, Gas. Aku bukan dari keluarga kaya sepertimu. Aku aja masuk sini karena dapat beasiswa,”
“Oh, kalo gitu lo pinter dong,”
“Ah, biasa aja, Gas, kamu juga pinter kan?!”
“Biasa aja, hehe. Kalo gitu entar siang lo tungguin gue disini ya, gue mau ngajak lo pergi,”
“Kemana?”
“Makan siang, sebagai permintaan maafku tadi,”
“Ah, nggak usah repot-repot. Aku udah maafin kamu kok,”
“Ayolah, kali ini aja deh,” bujuk Bagas.
“Ehmm . . oke,”
“Sip. Aku ke kelas dulu ya,” pamit Bagas.
“Iya, aku juga,” jawab Alde.
(dipercepat)
Alde telah menunggu Bagas di dekat mobilnya. Lima menit kemudian Bagas datang. Mobil Bagas segera meluncur ke sebuah restoran ternama di sekitar kampus itu.
“Kamu mau pesan apa, De?” ucap Bagas.
“Ya ampun, Gas, ini makanannya mahal-mahal banget. Aku nggak biasa makan di tempat mewah seperti ini,” jawab Alde.
“Kan aku yang traktir, udah gapapa kok. Mau pesan apa?”
“Apa aja deh,”
“Oke,”
Bagas segera memesan 2 makanan dan minuman yang sama. Ketika makanan dan minuman diantar, Bagas langsung membayarnya. Kemudian mereka menikmati hidangan yang sudah tersedia itu. Selesai makan, mereka mengobrol sebentar.
“Gimana, De, enak gak makanannya?” tanya Bagas.
“Enak, enak banget. Makasih ya, Gas,”
“Sama-sama. Abis ini kamu mau langsung pulang? Aku anter ya,”
“Gak usah. Aku gak langsung pulang. Mau kerja dulu,”
“Kerja sambilan? Apa?”
“Jadi kuli di sebuah bangunan, tapi cuma angkat-angkat,”
“Oh, kalo bapak ibumu?”
“Bapak dan ibuku sudah meninggal,”
“Ups, sorry, De, gue nggak tau,”
“Gapapa, Gas,”
“Terus lo tinggal sama siapa?”
“Gue sebatang kara, ngekost di kota ini. Jadi penghasilan kerja sambilan gue itu cukup buat menghidupi gue sendiri,”
“Gue salut banget sama lo, sob. Hebat,” kata Bagas memuji Alde dengan menepuk bahunya.
“Makasih, Gas. Kita bisa balik sekarang,”
“Oh bisa, gue anterin lo ya ke tempat kerja lo,”
“Gak usah, Gas. Gue bisa sendiri,”
“Ah, udah, yuk,” kata Bagas langsung menarik tangan Alde.
Tak lama kemudian mobil Ferrari merah itu telah sampai di tempat kerja Alde. Mereka turun.
“Makasih ya, Gas, udah nganterin gue,”
“Sama-sama, De. Gue mau bantuin lo angkat-angkat dong,”
“Gak usah. Berat,”
“Gak masalah,” Bagas pun nekat.
Namun tiba-tiba . . .
“Bagas!”
Bagas dan Alde menoleh ke asal suara itu.
“Papa??!” ucap Bagas terkejut yang ternyata proyek bangunan ini milik papanya sendiri.
“Apa-apaan kamu? Ngapain kamu disini? Kalo kamu mau kerja, Papa bisa tempatkan kamu menjadi mandor atau lainnya, bukan kuli,” bentak Pak Fahri, papanya Bagas.
“Aku cuma mau bantuin temen aku, Pa,” jawab Bagas.
“Oh, jadi gembel ini teman kamu. Kamu apakan anak saya? Mau kamu jadiin babu? Heh, lihat dong. Bagas dengan kamu itu bukan level. Jauhi Bagas!” bentak Pak Fahri sambil menunjuk Alde dan Alde hanya tertunduk.
“Papa apa-apaan sih?! De, maafin gue sama bokap gue ya,” ucap Bagas merasa bersalah.
“Gapapa, Gas, kamu dan Papa kamu nggak salah kok. Aku yang salah,” kata Alde.
“Dan kamu, mulai sekarang kamu berhenti dari pekerjaan ini,” ucap pak Fahri kepada Alde.
“Papa!” teriak Bagas.
“Baik, Pak. Terima kasih dan permisi,” ucap Alde sembari meninggalkan tempat itu.
“De! Alde!” teriak Bagas yang hanya dibalas senyum ketulusan oleh Alde.
“Sudahlah, Bagas! Ngapain kamu mikirin gembel kayak dia,” kata Pak Fahri kasar.
“Dia bukan gembel. Papa keterlaluan!” kata Bagas sembari berlalu menuju mobil dan menyusul Alde.
Namun dia tidak melihat Alde di jalan. Cepat sekali orang itu berjalan. Hmm, ya sudahlah, aku pulang saja, pikirnya. Setelah mobil Bagas jauh, Alde keluar dari tempat persembunyiannya. Dia tak ingin menyusahkan Bagas. Dia tau Bagas itu orang yang sangat baik. Dia menyayangi Bagas sebagai sahabat satu-satunya yang mau dekat dengannya karena jarang ada orang yang mau dekat dengannya hanya karena dia miskin. Sungguh malang. Dia pun kembali ke kost-annya.
Dan sayangnya kejadian buruk menimpa Bagas. Sewaktu pulang itu mobilnya menabrak sebuah truk. Keadaanya kini sangat parah. Bahkan salah satu telinganya putus akibat benturan yang sangat keras. Hal ini membuatnya sangat frustasi. Mendengar kabar buruk yang menimpa sahabatnya itu, Alde tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Bagas.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, Bagas kembali kuliah dengan satu telinga. Yang membuatnya tambah kecewa, teman-temannya sering mengolok-oloknya. Bahkan wanita-wanita yang dulu sangat menyukainya kini menjauhinya. Kehidupannya benar-benar berbeda. Hanya ada satu sahabat yang masih setia terhadapnya.
“Hai, Gas! Apa kabar?” ucap orang itu sambil menepuk bahu Bagas ketika Bagas sedang duduk di taman kampus.
“Alde?” Bagas segera memeluknya.
“Lo baik-baik aja kan?” tanya Alde.
“Ya beginilah, mereka semua mengolok-olok gue,”
“Udahlah, Gas, nggak usah mikirin mereka. Masih ada gue. Yang penting hidup itu harus disyukuri,” kata Alde yang langsung menenangkan hati Bagas.
“Makasih, De. Lo emang sahabat gue. Terus abis dari proyek bokap gue, lo kerja apa?”
“Belum dapet, Gas. Tapi gapapa kok,”
“Ya ampun, maafin bokap gue ya. Mau gue bantu?”
“Gapapa kok. Ga usah, gue bisa sendiri,”
“Gak, gue harus Bantu,”
“Gak usah Bagas, please,”
“Hmm, ya udah, ya udah,”
Lalu mereka pun bercanda berdua.

Malam harinya, Bagas sedang makan malam bersama papa dan mamanya. Tiba-tiba telepon berdering. Pak Fahri segera mengangkatnya.
“Iya, malam . . . Apa? Anda serius?! . . . Besok siang?? Baiklah, baiklah . . . Selamat malam,” kata itu yang terdengar dari mulut Pak Fahri.
“Ada apa, Pa?” tanya Bu Julie, mamanya Bagas.
“Sudah ada pendonor untuk telinga Bagas dan besok siang bisa dioperasi,”
“Hah? Serius, Pa?” Bagas tersenyum.
“Alhamdulillah,”
“Tapi siapa, Pa?” tanya Bagas penasaran.
“Aduh, Papa lupa tanya. Besok aja ya,”

Pagi harinya Bagas ke kampus seperti biasa dengan wajah berseri-seri. Dia ingin berbagi kebahagiaannya kepada sahabat satu-satunya, Alde. Sudah hampir seluruh kampus dikelilingi, orang itu tak kelihatan juga batang hidungnya. Bagas terduduk lemas karena saat-saat bahagia seperti ini tanpa sahabatnya. Tapi apa daya, mungkin Alde nggak masuk.
Pagi pun berganti siang. Matahari semakin tinggi. Pak Fahri dan Bu Julie sedang cemas memikirkan anaknya yang akan dioperasi. Bagas telah bersiap di dalam ruang operasi.
“Mama jangan nangis, aku akan baik-baik saja,” ucap Bagas sebelum dioperasi.
“Iya, sayang,” Bu Julie membelai rambut putranya itu dan mencium keningnya.
Operasi dimulai . . .
“Walaupun lo nggak disini, tapi gue yakin dimana pun lo berada lo pasti selalu doain gue. I love you, sob. Kalo operasi selesai, gue pengen cepet-cepet ketemu lo. Doain gue,” ucap Bagas dalam hati ketika operasi hampir dimulai.
Beberapa jam pun berlalu. Kini operasi telah selesai. Namun Bagas belum sadar akibat obat bius tadi. Papa dan mamanya sangat bersyukur dan ingin berterimakasih kepada pendonor yang baik hati itu. Tak lama kemudian, Bagas sadar. Mereka mencari tau pendonor itu.
“Sus, siapa malaikat yang telah mendonorkan telinga untuk anak saya ini?” tanya Bu Julie kepada Suster.
“Maaf, Bu, tapi dia tak ingin disebut namanya dan dia . . . “ kalimat Suster itu terputus.
“Dia kenapa, Sus?” kali ini Bagas yang bertanya.
“Dia telah meninggal,” jawab Suster itu.
“Inalillahi wainaillahi raji’un,” ucap mereka bertiga kompak.
“Sus, tolong ijinkan kami melihatnya. Tolong, Sus,” kata Pak Fahri memohon.
“Iya, Sus, kami ingin tau,” ujar Bu Julie.
“Ehmm . . . baiklah, mari saya antar,”
Suster mengantarkan mereka bertiga ke ruang operasi pelepasan telinga pendonor karena jenazahnya memang belum diletakkan di kamar mayat.
Betapa terkejutnya Bagas saat dia tau bahwa pendonor itu adalah . . .
“Alde?? Alde!! Aldeeeee!!!!!! Alde bangun. Kenapa lo nglakuin ini, kenapa??” Bagas terisak bahkan ia menjambak-jambak dan mengorak-arik rambutnya.
Dia benar-benar tak menduga bahwa sahabatnyalah yang telah mendonorkan telinganya. Dia terpukul. Dia tak habis fikir, kenapa Alde melakukan itu?! Betapa hatinya bagai malaikat. Bagas belum juga berhenti menangis sambil memeluk tubuh Alde yang beku tak bernyawa.
“Pa, Papa inget kan siapa dia? Dia yang udah Papa pecat dari proyek, udah Papa sebut sebagai gembel. Tapi Papa lihat sekarang, lihat, Pa, wajahnya polos. Hatinya suci. Dan telinga ini, ini telinga dia, Pa. Dia bukan gembel, tapi dia malaikat. Tanpa dia, telinga ini nggak akan pernah ada. Dan sekarang dia pergi. Papa nggak tau berartinya dia buat aku. Papa jahat!!” kata Bagas yang memarahi papanya sambil terisak karena kelakuan papanya yang dulu terhadap Alde, Bagas kecewa.
“Bagas, maafkan Papa. Papa nggak tau. Papa menyesal, Bagas. Papa janji, Papa nggak akan memandang orang dari penampilannya lagi, Papa janji,” Pak Fahri memeluk putranya itu, lalu disusul Bu Julie.
“Alde, maafkan Om yang dulu telah jahat terhadap kamu. Terima kasih atas kebaikanmu kepada Bagas. Semoga Allah membalasnya dengan surga yang lebih mewah dan melimpah dari kemewahan dunia fana ini,” Pak Fahri mencium kening Alde yang beku itu.
“Sampai jumpa di surga, sahabatku. Aku nggak akan melupakanmu, kamu sahabat terbaikku,” kata Bagas menatap wajah Alde dan bibir Alde tersenyum dan seolah berkata “Jaga telingamu baik-baik, kawan,”
“Aku janji, De, aku janji akan menjaga telinga ini baik-baik, selamanya. Terima kasih, Alde,” ucap Bagas tersenyum.
Papa dan mamanya juga ikut tersenyum, lalu mereka memeluk Bagas, putra semata wayangnya itu.




The End