Jumat, 16 Maret 2012

My Faith

Author : Alifah Inas Apriliana (No Copas)

Ternyata dia memiliki keistimewaan yang tak pernah kuduga. Pertemuan dan kedekatanku memang hanya sebentar, tapi rasa cintaku tumbuh begitu dalam. Aku bingung. Walaupun 2 tahun 1 sekolah tapi baru kali ini aku bisa sedekat ini dengannya. Aku bahkan belum tahu siapa dan bagaimana latar belakangnya. Ya, cinta. Itu yang aku rasakan saat ini. Tak sabar ku nanti esok hari untuk dapat melihatnya lagi.
Tadi malam aku hampir tak dapat tidur karena kepikiran cowok itu. Harus kemana aku mencari tahu tentangnya??? Dan pagi ini aku berharap ketemu dia. Melihat matahari cerah pagi ini jadi teringat namanya, namanya itu Fajar. Mungkin dulu lahir pas matahari terbit. Ah, aku memang sok tau. Lalu aku pun bersiap-siap sekolah.
“Rambut beres, wajah beres. Key, semua beres. Saatnya ke sekolah,” kataku sambil berkaca lalu keluar dan berangkat ke sekolahku di SMP Negeri 124.
Baru sampai di gerbang, sesuatu yang membuatku tak nyenyak tidur muncul di hadapanku. Waw, mimpi apa aku semalem?!
“Hai, Fit,” sapa orang itu yang ternyata adalah Fajar.
“Hei, Fajar. Apa kabar?” tanyaku agak basi untuk basa-basi (halah, apadeh).
“Begini aja, hehe. Kamu?” dia balik nanya.
“Sama, hihi,” candaku.
“Ya udah bareng yuk!” ajaknya.
“Oke,”
Sesampainya aku di kelas, dia pun pamit ke kelasnya. Walau hanya sebentar tapi aku seneng. Mulai deh ngejalani aktivitas seperti biasa di sekolaaahh.

Seminggu kemudian . . .

Hari ini aku sedih banget. Fajar, cowok yang aku suka itu pergi. Dia pindah ke tempat yang jauh, beda pulau sama aku. Aku menangis. Aku terpukul. Secepat itukah? Kenapa? Apa salahku? Dia bahkan belum tahu isi hatiku. Tuhan, aku cinta dia . . .
“Ya udahlah, Fit, sabar aja ya, kalo emang jodoh pasti ketemu lagi,”suara sahabatku yang berusaha meredakan hujan di mataku.
“Iya, Fon, tapi itu nggak mungkin, hiks hiks,” tangisku semakin menjadi.
“Memangnya kamu, Tuhan? Yang tau segalanya termasuk jodoh? Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, berdoa, serta berharap, tapi tetap Tuhanlah yang menentukan. Pasti juga ada kok yang lebih baik dari dia, udahlah nggak usah nangis, jelek tauk,” ujarnya.
“Iya, Fon. Makasih ya,”
“Sama-sama, Fit,”

Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan . . .

Aku udah punya nomer Hpnya Fajar, jadi bisa sms-an. Walaupun jarak jauh, semakin hari perasaanku semakin dalam tak menentu. Apalagi dia itu perhatian banget. Aku pun meminta pendapat sahabatku gimana kalo aku nyatain perasaan ke dia.
“Fon, aku sayang banget sama dia. Pengen banget nyatain perasaan ini. Menurut kamu gimana?” tanyaku.
“Wah, bagus dong. Itu baru namanya Fitri. Terus apa yang dipermasalahkan?”
“Aku malu,”
“Malu? Sama siapa, sayang? Optimis dong, ini hanya sekedar nyatain kok, nggak lebih. Beda lho sama nembak,”
“Bedanya?”
“Ya kalo nembak itu berharap jawaban terima atau nggak, tapi kalo nyatain ya cuma nyatain nggak berharap apapun selain perasaan lega,”
“Kok tau? Pengalaman ya?!” sindirku.
“Hehe, iya sih, Fit. Kalo kata-kata yang barusan itu aku pernah dikasih tau sama kakak kelas. Terus kalo soal pengalaman ya emang pernah,”
“Hah? Yang bener? Ke siapa?”
“Ya siapa lagi,”
“Emt, oke oke, aku paham. Gimana kisahnya?”
“Ya gitu, aku bilang kalo aku suka sama dia, tapi lewat sms. Ya ini juga cuma nyatain. malu sih apalagi di sekolah masih sering ketemu, kalo kamu kan enggak, dia udah pindah. So??”
“Iya sih, terus responnya dia??”
“Biasa aja, kan dianya juga udah punya pacar. Dia sih bilang ke aku kalo cowok itu ga cuma dia, masih ada yang lain, gitu. Tapi aku bilang, aku cuma suka sama dia, hmmm. Gilak ya, muka tembok bangett deh gue,”
“Nggak pa-pa, gentle girl, hehe,”
“Bisa aja lo, ikutin dong. Buktiin kalo cewek juga bisa, ini bukan masalah harga diri, tapi perasaan,”
“Betul juga sih, ya nanti aku coba. Doa’in yaa, Fona sayaaang,”
“Pastii dong, beib,”
“Makasih ya, Fon,”
“Never mind,”

Malam harinya . . .

Via SMS
Fajar   : malem, Fit . .
Fitri     : malem juga .
Fajar   : lagi apa?
Fitri     : belajar, kamu?
Fajar   : istirahat, kayaknya aku ganggu, maaf ya .
Fitri     : gpp ,ni udah selesai. Aku mau ngomong sm kamu .
Fajar   : ngomong apa?
Fitri     : aku suka sama kamu sejak saat kita ketemu di bus, lama-kelamaan perasaan ini semakin dalam ,maaf .
Fajar   : . . .
Fitri     : aku minta maaf kalo aku salah, aku tau kok kalo kamu udah cinta sama orang lain, aku cm mau nyatain perasaanku .
Fajar   : aku hargai. Orang lain? Siapa? Tau darimana?
Fitri     : dari Ferry, emangnya kamu suka sama siapa?
Fajar   : sama Fika ,kelas 8bhe ,tau??
Fitri     : nggak i.
Fajar   : ya pokoknya yg itu, maaf aku nggak ada perasaan apapun sama kamu selain sahabat. Tapi aku akan tetap berusaha menyenangkan hatimu, Fit . Makasih yaa .
Fitri     : sama2 .

Keesokan harinya Fitri bergegas menemui sahabatnya itu untuk curhat masalah yang semalem. Setelah ketemu, obrolan pun berlangsung asyik.
“Tadi malem aku udah ngikutin saran kamu,” ucapku.
“Lalu responnya??”
“Dia ngga cinta sama aku, tapi akan berusaha menyenangkan hatiku,”
“Lho baguss dong, bagus banget malah, ngga seperti nasibku,”
“Bagus apanya?? Dia suka sama Fika 8bhe,”
“Yang mana ya orangnya?? Ngga pernah denger,”
“Sama,”
“Ya udahlah, Sayang, nggak usah dipikir. Yang penting dia udah bilang akan bikin kamu seneng,”
“Amiin,”

Sebulan kemudian . . .

“Fon, dia suka sama aku,”
“Fajar??”
“Iya, siapa lagi,”
“Waaaahh, congrats ya beib,”
“Tapi aku ngga yakin dia udah bisa lupain Fika, Fika, itu,”
“Optimis dong, Fit, ah kamu. Yakinlah semua akan indah pada waktunya,”
“Tapi dia juga bilang kalau dia ngga akan kembali lagi kesini,”
“Keajaiban, hanya itu yang mungkin bisa kamu harapkan,”
“Iya, Fon. Makasih yaa, kamu selalu bikin aku tenang,”
“Iyaa,”
“Oiya, Fon, aku minta sesuatu ke kamu boleh nggak?”
“Apa sih yang nggak buat kamu,”
“So sweeeeeettt. Gini, kalau nanti ada perubahan sifatku yang bikin kamu nggak suka, kamu langsung ngomong ya, kalau bisa saat itu juga. Aku ngga mau kehilangan sahabat-sahabat terbaikku. Kamu juga janji ya ga akan nglupain aku soalnya sebentar lagi kita lulus,”
“Beress, aku akan ngomong kalau ada apa-apa. Aku juga janji ngga akan pernah lupain kamu, rumah kita kan ngga jauh-jauh amat. Asal kamu juga nglakuin yang aku lakuin,”
“Siip, aku juga janji, Fon,”
“Iya, Fit. I love you,”
“I love you too,”

Tak terasa, empat bulan pun berlalu, kini aku duduk di kelas 1 SMA di SMA Negeri 12. Kabar yang kudengar Fona sekolah di SMA Negeri 47. Kita masih sering kontak lewat sms maupun facebook. Kita sama-sama menikmati masa-masa SMA kita meski berbeda sekolah. Kadang-kadang juga jalan dan main bareng-bareng. Aku dikenalkan dengan teman-temannya begitu juga sebaliknya. Dia memang sahabat sejatiku.
Dan ternyata benar, janji kita berdua masih berjalan hingga kini kita lulus SMA. Walaupun waktu yang lama tapi begitu cepat ini, aku belum bisa melupakan Fajar bahkan menggantinya dengan pria lain. Dia benar-benar spesial untukku. Dia sangat berarti meski terkadang dia membuatku marah dan aku pun juga pernah berusaha melupakannya, but it failed.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah. Aku kuliah di Universitas Tunas Bangsa. Satu hal yang membuatku sangat gembira, aku satu kampus dengan Fona, bahkan satu jurusan dan satu kelas. Kebahagiaan yang tiada tara bagiku. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya lagi. Rindu ini menggeluti kalbu. Aku segera berangkat dan aku telah janjian dengannya bertemu di depan kampus.
“Pagiiiiii, cantiiiikkk,” sapanya.
“Fonaaaa, apa kabaaarr??” sapaku sambil memeluknya.
“Baik, kamu?”
“Ya begini lah. Eh siapa pacar kamu sekarang??”
“Nggak ada,”
“Mantan waktu SMA??”
“Ngga ada juga,”
“Ah masa??”
“Jujur, ya Fit, aku belum bisa lupain Farel, aku masih sayang banget sama dia, walaupun aku ngga tau sekarang dia dimana. Kalau begini, apa Tuhan tetap adil??”
“Fona, Tuhan itu Maha Adil, sangat adil. Apapun yang terjadi semua sudah diatur dan pasti akan ada balasannya. Percaya deh. Tuhan ngga akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatnya. Aku yakin kamu bisa, kalau jodoh ngga akan kemana, beib,”
“Oke. Ya udahlah lupain. Kamu sendiri pacarnya siapa hayooo??”
“Aku sama kayak kamu,”
“Fajar??”
“Iya,”
“Senasib. Stop galau. Mending kita happy, ini kan hari pertama masuk,”
“Lets gooooo,”

Kemudian kita pun berusaha melupakan kesedihan kita dengan menikmati hari pertama kita di kampus itu. Seusai pulang, kita menyempatkan diri untuk jalan berdua. Kita nonton, main game di mall, makan siang, curhat-curhatan di taman, dilanjutkan JJS ke tempat-tempat menarik di sekitar situ, lalu makan malam. Satu hal yang tak boleh dilewatkan, kita nonton konser Superman Is Dead yang kebetulan malam itu SID hadir di kota kita. Ya, kita sangat menyukai SID, Ladyrose gitu deh. Eh tapi sebenarnya aku ga suka tapi juga ga benci, Fona aja sih yang suka bangett sama SID. Kalo aku sukanya sama Ungu. Sekedar info, hehe. Kemudian kita pulang. Masing-masing sampai rumah sekitar pukul 23.45. Walaupun larut malam, kita sangat bahagia, hilang semua perasaan galau, bimbang, gelisah, dan segala yang berkecamuk di hati kita.
Esoknya aku dan Fona harus kuliah lagi, tapi siang, jadi bisa bangun agak siang soalnya masih ngantuk karena tadi malem. Dan siang ini aku seperti mendapat tamu yang tak diundang plus tak terduga. Sial, berangkat mau masuk kelas kepala kejedot pintu, udah gitu terlambat, diketawain abis-abisan sama temen-temen. Padahal baru hari kedua kuliah. Dan pas mau pulang penderitaanku masih berlanjut, aku kepleset kulit pisang di lantai bawah.
“Sial, siapa coba yang buang kulit pisang sembarangan disini, awas kalo ketemu orangnya, huhh,” omelku sendirian karena Fona udah pulang duluan.
“Aku orangnya, maaf ya,” ucap seorang cowok yang tiba-tiba nongol di depanku.
“Oh jadi elo? Heh, liat tuh tempat sampah, gilak yaa. . . Jaga kebersihan dong, nyelakain orang nih,”
“Iya, kan udah minta maaf mbak,”
“Nggak tau apa orang lagi emosi. Dasar hari siaaalll,” aku ngomel ga jelas.
“Nama mbak siapa? Aku Rafa,”
“Eh gilak ya, udah nyelakain gue, beraninya lo ngajak kenalan,”
“Allah aja mau memaafkan umatNya, masa mbak yang umat ngga bisa memaafkan sesamanya yang meminta maaf dengan tulus??”
“Iye, gue maapin,”
“Ikhlas??”
“Iklhaass,” ucapku tersenyum pahit berusaha ikhlas.
“Siapa nama mbak?”
“Fitri,”
“Seperti nama . . . “ ucap cowok yang mengaku Rafa itu terhenti seketika.
“Nama apa?”
“Nama seorang cewek yang begitu spesial dihatiku,”
“Oh ya? Waw. Pacar kamu?”
“Bukan, aku aja ngga tau dia sekarang dimana. Aku kangen banget sama dia,”
“Kok nasib kita sama ya,”
“Oh ya? Maaf kalau aku lancang curhat sama kamu,”
“Ngga pa-pa,”
“Kalau boleh tau, siapa nama cowok yang kamu cintai itu?”
“Fajar,” kulihat si Rafa hanya terdiam.
 “Kok diem?” tanyaku.
“Fit, sebenernya . . . “
“Apa?”
“Aku itu . . . “
“Kamu itu??”
“Aku itu Fajar,”
“Hah? Ap apa?? Nggak mungkin,” tanyaku gagap seolah tak percaya.
“Apa yang tak mungkin. Nama lengkapku Fajar Muhammad Rafa, dan kamu . . . Fitri Ayunindya kan??”
“Ya . . . tapi dulu kamu bilang kalau . . . “ ucapanku terpotong olehnya.
“Tapi ternyata engga, ayahku tetap harus kembali kesini dan selamanya disini. Fit, apa kamu masih mencintaiku??”
“Aku . . u . . emt, aku . . . Aku masih . . sayang kamu,”
“Aku juga, Fit. Maafin aku ya,”
“Ngga pa-pa,” kita pun berpelukan.
“Ciyeee, yang lagi happy,” ucap seseorang yang membuatku melepaskan pelukan Fajar yang begitu hangat.
“Fona?? Tadi katanya duluan??”
“Iya awalnya gitu, tapi kalau kunci rumah ketinggalan di laci mana bisa masuk?!”
“Yaa . . yaa . . “
“Congrats ya, semoga langgeng, cepet nikah,”
“Ammiinn,” ucapku dan Fajar atau Rafa serentak.
“Thanks, Fon. Lo emang sahabat gue. Tapi gue tetep menomortigakan lo setelah Allah dan orangtua gue,”
“Iya, sayang,” aku memeluk Fona.
“Ya udah, aku pulang dulu yaa, bye,”
“Tunggu, Fon. Gue yakin suatu saat lo juga akan mendapat cinta yang lo dambakan. Semangat ya, Fon. Gue slalu dukung, lo. Gue tau lo cewek kuat,”
“Iya, sayang, tenang aja . . . bye,”

“Say, kamu tau nggak apa arti nama kita?”
“Emt, emang apa?”
“Fajar itu kan artinya matahari, matahari itu selalu setia menyinari dunia ini. Jadi Fajar itu diciptakan khusus hanya untuk Fitri, Fajar janji akan selalu setia kepada Fitri,”
“Kalo Fitri??” tanyaku.
“Fitri itu artinya suci. Kesetiaanku akan menjaga kesucianmu hingga saatnya tiba. Beberapa tahun lagi aku akan meminangmu, sayang. Will you marry me someyears later??”
“Of course,”
“I’ll always love you,” ucapnya.
“And you’ll be the last for me,” jawabku.


The End

Selasa, 13 Maret 2012

Profil Personil SID


1. Bobby Kool (Lead Vocal & Guitar)


I Made Budi Sartika atau yang biasa di panggil "Bobby Kool" lahir di Denpasar Bali tanggal 8 September 1977. Bobby Kool menyukai anjing, dia juga seorang desain grafis, menyelesaikan kuliahnya Sastra Inggris di Universitas Warmadewa Denpasar, Bobby Kool memiliki distro atau brand Electrohell



2. Eka Rock


I Made Eka Arsana atau lebih di kenal dengan nama Eka Rock, lahir di Negara tanggal 8 Februari 1975. Menyelesaikan kuliahnya di Universitas Udayana fakultas Sastra Inggris. Eka Rock tergila gila dengan dunia photography dan dunia IT, terutama dalam programming web. Dialah yang mendesain dan membuat situs resmi SID.



3. Jerinx (Jrx)


I Gde Ary Astina atau biasa dipanggil Jerinx, lahir di Kuta tanggal 10 Februari 1977. Jerinx menyelesaikan kuliahnya di Undiknas Denpasar Fakultas Ekonomi. Jrx adalah pecandu hairwax, juga seorang surfer. Pemilik Twice Bar dan Twice Tattoo Studio ini memiliki brand Rumble.






SUPERMAN IS DEAD OFFICIAL

Sabtu, 10 Maret 2012

Demi Mama (Cerpen #3)

Author : Alifah Inas Apriliana (No Copas)

HAPPY READING !!


Angel’s POV

Matahari telah terbit dari beberapa menit yang lalu. Udara mulai terasa hangat. Dengan gontai aku pergi ke sekolah berjalan kaki. Sebenarnya aku malas sekali tapi ini kewajibanku. Namun sebelum berangkat aku pun berpamitan dengan orang tuaku.
            “Ma, Pa, aku berangkat dulu ya,” kataku sambil mencium tangan mereka.
            “Kamu ngga sarapan dulu Ngel?” tanya Papaku.
            “Ngga usah,” ucapku agak ketus.
            “Kamu kenapa sih sayang? Ada masalah? Atau marah sama Mama dan Papa gara-gara tadi malem?” tanya Mama bertubi-tubi.
            “Nggak!” ucapku agak keras.
            “Kamu kan sudah dewasa, seharusnya mengerti dong. Jangan seenaknya. Bagaimana kalau Papa biarkan kamu hidup sendirian tanpa tanggung jawab Papa? Hah? Apa kamu sanggup? Jangan macam-macam kamu!” Papa memarahiku.
            “Aku sanggup kok, aku juga males tinggal disini lama-lama. Semuanya egois,” ucapku melawan Papaku.
            “Anak kurang ajar!” sebuah tamparan kasar berhasil mendarat di pipiku.
            “Papa!” Mama pun kaget.
Aku segera berlari meninggalkan mereka. Tapi bukan sekolah yang kutuju melainkan sebuah taman tempat dimana biasanya aku kalau lagi sedih. Aku menumpahkan semua kesedihanku ke dalam diary unguku.

Dear diary,
Bad day. I hate today. You know? Just now my father slap me. Hanya karena masalah tadi malem. Yah, semalem sempat terjadi sedikit kesalahpahaman.
Jadi begini, ngga tau kenapa tiba-tiba aku ingin menangis dan menyendiri di luar. Aku pun keluar. Dan di luar pun hujan deras. Aku hanya ingin menangis dan ini ngga ada hubungannya dengan Papa Mamaku. Tiba-tiba Papaku menghampiriku dan membentakku. Ia mendapat laporan dari Mama yang mengira aku sedang marah dengannya. Aku benci. Aku benci dengan orang yang suka menuduh padahal masalahnya berbeda dengan tuduhannya. Lalu aku segera masuk ke kamar. Begitulah. Sepele tapi besar bagiku.
Dan tadi pagi terulang. Aku benci hari ini. Aku capek. Aku ingin pergi dari dunia ini. AKU BENCI SEMUANYA!!!!!!!

            Hingga matahari menampakkan cahayanya dari arah barat, aku masih duduk di kursi taman yang indah itu. Bayanganku tertuju pada kakakku. Ia selalu mendapat perhatian lebih dari Papa dan Mama. Sedangkan aku? Berbeda. Jelas-jelas berbeda. Setiap kakakku bercerita sesuatu, mereka dengan antusias mendengarkan. Tapi kalau aku yang bercerita, tak tau didengar atau tidak. Kadang aku bertanya-tanya, apa mungkin aku bukan anak kandung mereka?? Lalu siapa orang tua kandungku dan dimana mereka?!

Mama’s POV

            Aku gelisah menunggu kedatangan putriku. Sudah jam 8 malam dia belum juga pulang. Aku khawatir sekali.
            “Masih memikirkan anak itu?” tanya Papa tiba-tiba.
            “Iya Pa, Mama takut terjadi apa-apa dengannya,” ucapku.
            “Sudahlah Ma, tenang. Dia akan baik-baik saja. Lagipula dia kan . . . “aku memotong ucapan suamiku.
            “Sudahlah Pa, jangan bahas itu,“ ucapanku terpotong oleh suamiku.
            “Baiklah”

Angel’s POV

            Deg deg deg deg deg. Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Jantungku berdetak sangat cepat. Apakah ada sesuatu yang buruk? Tidak. Aku harus tenang. Dan tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku.
            “Sedang apa disini?” tanyanya sopan.
            “Oh, eh, ehm aku ga ngapa-ngapain. Kamu siapa?” tanyaku.
            “Kenalin, namaku Bisma,” ucapnya dan mengulurkan tangannya.
            “Angel,” aku membalas uluran tangannya.
Aku dan Bisma pun mengobrol ngalor ngidul, tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 10 malam.
            “Kamu ngga pulang?” tanyanya.
            “Aku juga ngga tau,”
            “Pulanglah, mereka pasti cemas menunggumu. Percayalah, mereka menyayangimu,” katanya yang langsung menenangkan hatiku.
            “Tapi . . . “
            “Aku antar saja ya,” tawarnya.
            “Hmm, baiklah,”
Aku segera pulang diantar oleh Bisma. Sampai di rumah.
            “Selamat malam, Angel,” ucapnya.
            “Malam, Bisma. Makasih ya,”
            “Sama-sama, aku pulang dulu,”
            “Hati-hati,”
Aku pun memasuki rumah.
“Darimana saja kamu? Jam segini baru pulang?! Dan siapa lelaki itu??” Papa mengagetkanku.
            “Bukan urusan Papa,” aku langsung berlari menuju kamar.
Beberapa menit setelah aku masuk ke kamar. Dan tak taheu kenapa pikiranku tertuju pada Bisma. Aku merasa tenang saat di dekatnya tadi. Dan . . . dia ganteng juga. Ah, apa ini yang namanya cinta? Aku tersenyum tak jelas  di dalam kamar.
Tiba-tiba ada yang mengetok pintu kamarku. Aku membiarkannya masuk dan aku pura-pura tidur. Ternyata itu Mama. Ia membelai lembut rambutku sambil menciuminya.
“Mama sayang sama kamu, nak. Meskipun kamu memang tidak lahir dari rahim Mama,” ucap Mama dan DEG, jantungku serasa berhenti mendengar perkataan Mama dan air mata tak dapat kutahan. Ia mengalir begitu saja. Aku masih terus mendengar ucapan Mama.
“Maafkan Mama sayang, bukan maksud Mama berbohong. Kami menemukanmu di jalan raya. Lalu kami mengangkatmu sebagai anak. Mama juga tak tahu betul siapa orang tua brengsek yang telah tega membuangmu. Mengertilah, Mama menyayangimu sebagai anak kandung Mama sendiri,”
Karena sudah tak kuat, aku pun bangun dan langsung memeluk Mama.
            “Maafin Angel, Ma. Angel salah. Angel juga sayang sama Mama. Dan Angel bisa paham kok Ma soal Angel bukan anak Mama. Terima kasih, Mama,”
            “Iya sayang, Mama juga sayang kamu,” Mama pun memelukku.
            “Sudahlah, sekarang kamu tidur. Besok sekolah. Jangan tinggalin Mama lagi ya,” ucap Mama sambil membelai rambutku.
            “Mama juga jangan tinggalin aku ya. Malem ini Mama tidur disini ya? Ayolah Ma,” rengekku.
            “Iya sayang, Mama disini menemanimu,”

Bisma’s POV

            Angel, dia cantik banget ya. Aku menyukainya. Aku benar-benar iba melihatnya hari ini. Malang sekali yeoja seperti dia. Oke, aku akan berusaha mengembalikan cerianya. Aku harus menyatakan perasaanku kepadanya. Tetapi? Hei, aku lupa tak meminta nomor telfonnya. Eh tapi, oiya aku kan sudah tau rumahnya. Ah dasar aku bodoh.

Angel’s POV

            Keesokan harinya, aku bangun tidur dan kudapati Mama telah pergi dari kamarku. Aku segera bersiap-siap untuk sekolah. Kebetulan tadi pagi Papaku sudah berangkat ke Paris untuk menjalankan bisnisnya. Oiya aku lupa, kakakku itu cewek umur 20 tahun. Namanya Tiffany. Dia setahun yang lalu pindah sekolah ke London. Dia juga cantik, baik, pinter lagi. Cukup ya perkenalannya. Setelah 30 menit bersiap-siap, aku turun untuk sarapan.
            “Pagi, Ma,” sapaku sambil mencium pipi Mama.
            “Pagi juga sayang, sarapan nih,”
Aku pun sarapan. Seusai sarapan aku langsung berangkat dengan berjalan kaki diantar oleh Mama. Kami berdua mengobrol di jalan. Aku memilih jalan kaki karena jarak rumah ke sekolah hanya beberapa meter sekaligus hemat.
            Sampai di depan gerbang sekolahku, Mama pun pamit. Tapi Mama mau ke seberang jalan dulu untuk membeli sesuatu. Aku masih mengawasinya dari gerbang. Saat Mama menyeberang aku melihat sebuah truk yang melaju sangat kencang. Dan dengan spontan . . .
            “Mamaaa awaaaaaaaaaaaasss,” teriakku dan aku langsung lari mendorong Mamaku hingga aku . . .
            “Aaaaaaaaaaaaa,” teriakku, aku belum pingsan sepenuhnya.
            “Angeeeeeeeeeelll,” teriak Mama dan langsung menghampiriku, begitu pula dengan teman-temanku yang melihatnya.
            “Angel, bangun nak, ini salah Mama. Jangan tinggalin Mama, sayang,” ucap Mama sambil menangis.
            “A..ku mela..ku..kan in..i de..mi Mama, ma..afin ak..ku ya Ma. Aku sa..yang Mama,” ucapku terbata-bata dan setelah itu aku tak merasakan apapun.
            “Angeeeelll banguuun. Mama juga sayang sama kamu,”

Author’s POV

            Angel dibawa oleh Mamanya ke rumah sakit. Bu Vala (Mamanya Angel) terus menangis sambil mencoba menghubungi suaminya. Dari sana terdengar suara seorang namja.
            “Halo, ada apa Ma?” tanya Pak Rafa (Papanya Angel).
            “Angel kecelakaan Pa,” kata Bu Vala sambil terisak.
            “Apa? Kok bisa?”
            “Sudahlah, lebih baik Papa pulang dulu,”
            “Baiklah,”
            “Kamu tolong kabari Tiffany,”
            “Oke,”
Tak lama kemudian dokter keluar dari UGD.
            “Bagaimana keadaan anak saya Dok?” tanya Bu Vala dengan degup jantung tak karuan.
            “Maaf, kami sudah berupaya semaksimal mungkin. Namun luka yang dialami sangat parah dan . . . Tuhan berkehendak lain terhadap anak Ibu,” ucap dokter itu.
            “Nggak mungkin, nggak mungkiiiinnn. Angeeeeelllll,” teriak Bu Vala histeris dan langsung menemui jenazah putrinya.
            “Angel sayang, maafkan Mama. Ini semua gara-gara Mama. Hiks, hiiks. Angel jangan tinggalin Mama nak, Mama sayang sama kamu,” Bu Vala mencium wajah jenazah putrinya itu.
            Jenazah Angel dibawa pulang. Tak lama kemudian datanglah Pak Rafa dan Tiffany bareng. Mereka berdua terlihat shock dengan suasana rumah yang dipenuhi banyak orang. Mereka pun memasuki rumah dan . . .
            “Angeeeelll,” teriak Tiffany yang langsung memeluk jenazah adik satu-satunya itu. Sementara Pak Rafa menghampiri istrinya yang juga tengah menangis.
            “Ini semua salah Mama. Saat Mama menyeberang, ada truk lewat dan Angel mendorong Mama hingga dia yang tertabrak dan . . . “ ucapan Bu Vala terhenti karena isak tangisnya.
            “Jangan menyalahkan diri sendiri, ini memang sudah takdir Ma,” ucap sang suami.
            “Iya Ma. Angel maafin kakak ya, kakak sayang sama kamu,” ucap Tiffany sambil menangis.
Tiba-tiba ada seorang pemuda tampan datang ke rumah itu.
            “Permisi Om, Tante, ini ada apa ya, kok rame sekali?” tanyanya.
            “Anak saya, Angel, meninggal,” ucap Pak Rafa.
            “Apa? Nggak mungkin!” ucap namja itu terlihat shock.
            “Kamu siapa?” tanya Pak Rafa.
            “Saya Bisma, temannya yang waktu itu mengantarnya malam-malam Om. Saya mencintai anak Om, tapi . . . “ ucapan Bisma pun juga terhenti karena isak tangisnya, lalu ia memeluk tubuh Angel yang sudah tak bernyawa.
            “Walaupun ragamu tiada, namun jiwamu selalu menyatu dengan jiwaku. Aku tau kamu juga mencintaiku. Tunggu aku disana, Angel sayang. I love you,” bisik Bisma ke telinga Angel.
            “Sabarlah nak, ini kehendak Tuhan,” ucap Pak Rafa.
            Beberapa menit kemudian, jenazah Angel pun diberangkatkan ke TPU Kembang Putih. Bu Vala dan Tiffany hanya bisa menangis dan pasrah.
Seusai disemayamkan, mereka semua pulang dengan membawa duka cita yang amat dalam. Terlebih Pak Rafa. Sebenarnya dia sangat terpukul karena belum sempat meminta maaf kepada anak angkatnya itu. Tapi dia tak memperlihatkan kesedihannya di depan istrinya agar istrinya tak terlarut dalam duka ini. Dia hanya bisa memanjatkan doa agar dosa-dosa putrinya diampuni. Dia menyesal atas semua kesalahannya terhadap Angel.
            “Astaghfirullahal ‘adzim,” itulah yang selalu terucap dari bibir Pak Rafa selama perjalanan pulang dari TPU.

Angel’s POV

            Biar bagaimanapun Papa dan Mama sudah sangat baik mau mengangkatku sebagai anaknya. Maafkan aku ya Ma, Pa, jika aku banyak salah. Aku juga sudah memaafkan kesalahan kalian semua. Kak Fany, aku juga minta maaf. Suatu saat kita semua akan bertemu di surga. Mama, Papa, dan Kak Fany, terima kasih telah memberi kehidupan yang indah untuk Angel. I love you, all . . .

The End

Lima Tahun Lagi (Cerpen #2)

Author : Alifah Inas Apriliana (No copas)
#hanya imajinasikuuu, bukan kisah nyatttaaaa#


Happy READING !!



Pagi-pagi benar aku udah berangkat sekolah. Hari ini hari Rabu, tepat jam pertama jadwalnya olahraga. Dan mulai hari ini pengajarnya bukan Pak Dani, tapi PPL dari Universitas Kejora (ngasal). Kalo ga salah yang ngajar kelasku itu namanya Pak Billy (kayaknya tua banget ya dipanggil bapak padahal namanya keren, ya sudahlah). Dan kini tibalah pelajaran olahraga. Aku dan temen-temen sekelas udah di lapangan. Pak Billy juga udah dateng. Kemudian perkenalan.
            “Selamat pagi, adek-adek,” sapa si PPL itu.
            “Pagi, Paaaakkkkk,” jawab temen-temenku semangat mungkin karena pengajarnya rada seger kali yah.
            “Nama saya Billy Andrean (wuih kereeenn, serius ga yah), kalian bisa panggil Pak Billy. Atau boleh juga Kak,” ucapnya.
            “Rumahnya mana, Pak?” tanya Meisha, salah satu temenku.
            “Daerah Kampung Hijau (authornya ngasal lagi, biar ga ketahuan, hehehe, sory ya Pak),” jawab si Pak Billy.
            “Ooooo,”
            “Ya udah, sekarang pemanasan dulu. Salah satu mimpin,” ucapnya.
Bukannya GR ya, tapi kayaknya dari tadi Pak Billy kok ngliat akunya begitu ya. Terus senyum-senyum gitu. Aneh. (ya iyalah kan suka, peace Pak)
            Dua jam pelajaran pun berlalu, dan kini olahraga telah selesai. Aku kembali ke kelas untuk ganti baju dan mengikuti pelajaran selanjutnya. (dipercepat) Kemudian istirahat kedua. Seperti ada yang aneh, aku ketemu lagi sama Pak Billy. Dia nyengir ngliat aku. Duh, ada apa ya? Apakah ada yang aneh pada diriku? I don’t know, whatever.
            Pulang sekolah pun tiba. Aku segera pulang. Sampai di rumah aku mengirim sms ke salah satu PPL untuk minta nomernya si Pak Billy. Aku penasaran soalnya. Dan tak lama aku pun mendapatkannya. Segera aku sms dia.
@ViaSMS
Aku    : Siang Pak.
P. Billy           : Jg, syapa?
Aku    : Sheila, biasanya dipanggil Ila, murid kelas ** (sensor biar ga ketahuan)
P. Billy           : Oh ya, ada apa?
Aku    : Mau nanya, bapak (tua amat dipanggil bapak, peace) dari tadi ngliatin aku sambil senyum2 kenapa, emangnya aku aneh?
P. Billy           : Lha kamu manis banget og, hehe.
Aku    : Halah, biasa aja i.
P. Billy           : Beneran, cah ayu.
Aku    : Apa sih.
P. Billy           : Gpp i.
(dan seterusnya sampe tangan keriting)
            Lalu keesokan harinya aku bertemu lagi sama si Pak Billy itu. Sekarang bukan hanya senyum, tapi udah mulai nyapa. Terus besok dan seterusnya juga mulai bercanda dan semakin dekat.
            Tiga bulan pun berlalu. Hari ini adalah hari dimana tugas para PPL mengajar di sekolahku harus berakhir. Yap, hari perpisahan. Sedih rasanya karena memang aku sudah kenal dan dekat dengan semua PPL yang ada disini. Aku menangis ketika melihat penampilan PPL menyanyikan lagu bertema perpisahan. Tak lama kemudian tiba-tiba ada yang menarik tanganku dan membawaku ke suatu tempat. Dan itu ternyata Pak Billy.
            “Pak Billy? Ada apa? Bikin kaget aja,” ucapku.
            “La, aku mau ngomong,” ucap Pak Billy kemudian.
            “Kan udah ngomong,” jawabku.
            “Yee Ila, kali ini serius,”
            “Serius udah bubar Pak, Afgan mau?”
            “Nggak, kan aku udah mirip Afgan,” si Pak Billy PD pooolll.
            “Afgan Sutisna,”
            “Bukannya Afgan Syahreza?”
            “Afgannya dikit, Sulenya yang banyak,”
            “Kok bisa Sule?”
            “Nananana, udah Pak tadi mau ngomong apa?
            “Aku suka sama kamu,” (weh to the point amat)
            “Hah? Apa?? Katanya serius Pak kok malah bercanda?!”
            “Katanya serius udah bubar?”
            “Oiya lupa,” (orang-orang stress)
            “Tapi aku ngga bercanda Ila, aku serius, sungguh-sungguh,”
            “Nggak mungkin lah. Umurku sama umurnya Pak Billy selisihnya jauuuuhh. Aku juga masih SMP, tapi kamunya udah kuliah. So, impossible,” ucapku tegas.
            “Cinta kan nggak memandang umur,”
            “Trus mandang apaan?”
            “Halah sok ga tau, soalnya kamu itu cantik seperti bidadari yang jatuh dari langit,” (ketahuan sering nonton Raja Gombal).
            “Ah, apaan sih Pak,”
            “Hemmb, gimana?”
            “Apanya?”
            “Ya ampun, kalo polos ya jangan polos-polos amat dong La, begini nih jadinya,”
            “Iya aku tau maksudnya kok. Oke, tapi 5 tahun lagi ya????”
            “What? 5 tahun bukan waktu yang sedikit,”
            “Ya emang, aku masih kecil Pak, kalo ga mau ya udah, ga papa, toh aku juga ga rugi kan,”
            “Huuffhh, aku coba deh, tapi janji ya,” Pak Billy mengulurkan jari kelingkingnya.
            “Janji,” aku pun membalasnya.
            “La, jangan panggil pak dong, emangnya aku udah tua banget ya?”
            “Mungkin, haha. Iya-iya, terus panggil apa dong? Kakek?”
            “Mbah,” jawabnya ngambek.
            “Wew, santai dong Pak,”
            “Tuh kan pak lagi,”
            “Lupa. Iya Kak Billy yang ganteng,” ucapku menggombalinya.
            “Nah gitu kan enak didenger,”
            “Oke. Ehmb, Kak, jangan lupain aku ya, kan hari ini perpisahan. Sering-sering main kesini ya, aku pasti merindukanmu,” tak terasa air mataku mengalir, lalu Kak Billy memelukku, ya ampun aku kaget banget, untung disitu cuma berdua (wah setan merajalela woy).
            “Nggak mungkin aku lupain kamu, Cantik. Aku janji pasti sering-sering kesini nengokin kamu. Kan kita berdua udah janji 5 tahun lagi. Jangan menangis, aku tak ingin melihat air matamu (auwah),” katanya sambil masih memelukku.
            “Iya, Kak. Makasih ya,”
            “Sama-sama,” pelukan pun dilepas.
            “Eh kakak ngapain meluk-meluk aku?” aku pura-pura marah.
            “Hehe, tadi aja pas dipeluk seneng, pas udah selesai marah-marah. Bilang aja mau dipeluk terus,”
            “Ih PD banget. Ya udah Kak, kembali ke aula yuk,”
            “Sip,” kami pun kembali ke aula.
            Ternyata acara hampir selesai. Aku duduk di kursi yang tersedia untuk murid sementara Kak Billy duduk bersama teman-teman PPL lainnya. Kami hanya saling memandang dan dia tersenyum devil, dasar. Ketika selesai, aula benar-benar sesak dipenuhi murid-murid yang berebut ingin bersalaman, berpelukan, dan foto-foto sama para PPL. Aku hanya duduk santai karena aku lupa tak membawa HP. Hemmbb. Satu jam berlalu. Anak-anak pada bubar sendiri-sendiri. Aku masih disitu bercanda bersama Kak Billy dan lainnya. Kami biasa saja dan terlihat seolah tak ada apa-apa. Kemudian 30 menit berlalu. Kini aku telah sampai di rumah dan para PPL sudah pulang semua. Hembb, masih terbayang wajah-wajah PPL, terutama Kak Billy, kocak dia. Ya sudahlah.


LIMA TAHUN KEMUDIAN

            Kini aku telah menjadi mahasiswi di Universitasnya Kak Billy yang dulu. Tapi sayangnya Kak Billy udah lulus dari beberapa tahun yang lalu. Dan aku juga nggak tau dia sekarang dimana. Hari ini adalah tepat 5 tahun saat perjanjian itu. Dan ini tanggal dan bulan yang sama seperti waktu itu. Tapi dimana Kak Billy? Kami benar-benar lost contact. Beberapa hari yang lalu ku coba mencari rumahnya tapi ternyata dia pindah. Nomer Hpnya juga udah nggak aktif. Bingung. Gelisah. Marah. Sedih. Kangen. Campur aduk deh.
            Dengan gontai aku berjalan-jalan melihat sekitar kampusku. Aku rada malez pulang. Di rumah sendirian. Ketika sedang enak-enaknya berjalan, tanpa sengaja aku menabrak seorang cowok yang . . . waw.
            “Eh sory, sory ya, ga sengaja,” ucapku.
            “Ga papa, kamu anak baru ya?”
            “Iya, kalo kamu?”
            “Udah lulus, lagi reunian sama temen-temen,”
            “Oh gitu,”
            “Nama kamu siapa?” tanyanya.
            “Ila, kamu?” aku mengulurkan tanganku untuk menyalaminya dan dia membalasnya tapi matanya tampak terbelalak kaget saat aku menyebut namaku.
            “Ila? Sheila Putri Hanif?” tanyanya memastikan namaku.
            “Lhoh kok tau?” tiba-tiba dia memelukku.
            “Aku Billy, Billy Andrean” dia pun melepaskan pelukannya.
            “Apah? Yang bener ajah?!” aku tak percaya, bagaimana bisa dia berubah menjadi setampan ini, padahal lima tahun yang lalu nggak setampan ini (haha, sory maz brow, semoga kenyataan walaupun ini hanya imajinasiku, hehe).
            “Iya, La, masa ga percaya sih?”
            “Tapi sekarang ganteng banget,” dia tersenyum malu.
            “Udah takdir, La, hehe,”
            “Kak Billy,” aku menatapnya.
            “Iya?”
            “Aku kangen sama kakak, tau nggak sih beberapa hari lalu aku . . .” belum selesai aku ngomong dia langsung meletakkan jari telunjuknya di bibirku.
            “Aku tau, La. Maafin aku ya yang udah nggak ngabarin kamu. Aku bener-bener minta maaf,”
            “Terus kenapa harus nglakuin ini Kak? Menyiksa tau nggak?!”
            “Kok bisa? Apa kamu . . . ??”
            “Ah apaan sih,”
            “Oke. Gini La, aku cuma mau memastikan apakah kamu itu jodohku atau bukan. Aku sengaja ganti nomer tanpa ngasih tau kamu. Sebenernya rumahku nggak pindah, aku cuma pergi sebentar dan aku nyuruh tetanggaku untuk bilang begitu karena aku yakin yang dateng pasti kamu. Dan aku pun berfikir, kalau memang kita jodoh, kita pasti bisa ketemu lagi walaupun tanpa kontak. Dan sekarang . . . “ dia tersenyum, manis sekali (boong).
            “Mungkinkah kalau kita . . . ??”
            “Sangat mungkin,” aku langsung memeluknya erat (sok romantiss) dan dia membalasnya erat pula.
Kemudian tiba-tiba . . . aku mendengar tepukan tangan yang banyak dan heboh. Aku melepas pelukan itu dan melihat siapakah mereka. Aku menamatkan wajahnya satu per satu dan setelah sadar, ternyata mereka adalah para PPL yang dulu mengajar di sekolahku. Aku tersenyum malu.
            “Hei, sejak kapan kalian disitu?” tanya Kak Billy, rupanya dia juga terkejut.
            “Sejak tadi,” jawab Kak Arian  ngasal.
            “Nggak nyangka, ternyata di SMP dulu ada cinlok antara guru dengan muridnya. Huuuu,” kata Kak Nessa.
            “Huuuuuuu,” mereka juga ikut nyorak sambil bertepuk tangan.
Kak Billy malah cengengesan sambil merangkulku.
            Sejak saat itu aku pun memenuhi janjiku untuk menerima cintanya 5 tahun yang lalu. Kami bahagia sampai sekarang. Semoga ini kan abadi. Aku mencintai Kak Billy apa adanya, terlebih karena dia baik dan selalu ada buat aku walaupun usia kita terpaut jauh. Dia juga setia dan pengertian. Begitupun dia, dia mencintai apa adanya diriku. Teman-temannya dan teman-temanku juga selalu mendukung kami. Hal itu menambah lengkapnya kebahagiaan kami.

                                                               The End