Sabtu, 10 Maret 2012

Lima Tahun Lagi (Cerpen #2)

Author : Alifah Inas Apriliana (No copas)
#hanya imajinasikuuu, bukan kisah nyatttaaaa#


Happy READING !!



Pagi-pagi benar aku udah berangkat sekolah. Hari ini hari Rabu, tepat jam pertama jadwalnya olahraga. Dan mulai hari ini pengajarnya bukan Pak Dani, tapi PPL dari Universitas Kejora (ngasal). Kalo ga salah yang ngajar kelasku itu namanya Pak Billy (kayaknya tua banget ya dipanggil bapak padahal namanya keren, ya sudahlah). Dan kini tibalah pelajaran olahraga. Aku dan temen-temen sekelas udah di lapangan. Pak Billy juga udah dateng. Kemudian perkenalan.
            “Selamat pagi, adek-adek,” sapa si PPL itu.
            “Pagi, Paaaakkkkk,” jawab temen-temenku semangat mungkin karena pengajarnya rada seger kali yah.
            “Nama saya Billy Andrean (wuih kereeenn, serius ga yah), kalian bisa panggil Pak Billy. Atau boleh juga Kak,” ucapnya.
            “Rumahnya mana, Pak?” tanya Meisha, salah satu temenku.
            “Daerah Kampung Hijau (authornya ngasal lagi, biar ga ketahuan, hehehe, sory ya Pak),” jawab si Pak Billy.
            “Ooooo,”
            “Ya udah, sekarang pemanasan dulu. Salah satu mimpin,” ucapnya.
Bukannya GR ya, tapi kayaknya dari tadi Pak Billy kok ngliat akunya begitu ya. Terus senyum-senyum gitu. Aneh. (ya iyalah kan suka, peace Pak)
            Dua jam pelajaran pun berlalu, dan kini olahraga telah selesai. Aku kembali ke kelas untuk ganti baju dan mengikuti pelajaran selanjutnya. (dipercepat) Kemudian istirahat kedua. Seperti ada yang aneh, aku ketemu lagi sama Pak Billy. Dia nyengir ngliat aku. Duh, ada apa ya? Apakah ada yang aneh pada diriku? I don’t know, whatever.
            Pulang sekolah pun tiba. Aku segera pulang. Sampai di rumah aku mengirim sms ke salah satu PPL untuk minta nomernya si Pak Billy. Aku penasaran soalnya. Dan tak lama aku pun mendapatkannya. Segera aku sms dia.
@ViaSMS
Aku    : Siang Pak.
P. Billy           : Jg, syapa?
Aku    : Sheila, biasanya dipanggil Ila, murid kelas ** (sensor biar ga ketahuan)
P. Billy           : Oh ya, ada apa?
Aku    : Mau nanya, bapak (tua amat dipanggil bapak, peace) dari tadi ngliatin aku sambil senyum2 kenapa, emangnya aku aneh?
P. Billy           : Lha kamu manis banget og, hehe.
Aku    : Halah, biasa aja i.
P. Billy           : Beneran, cah ayu.
Aku    : Apa sih.
P. Billy           : Gpp i.
(dan seterusnya sampe tangan keriting)
            Lalu keesokan harinya aku bertemu lagi sama si Pak Billy itu. Sekarang bukan hanya senyum, tapi udah mulai nyapa. Terus besok dan seterusnya juga mulai bercanda dan semakin dekat.
            Tiga bulan pun berlalu. Hari ini adalah hari dimana tugas para PPL mengajar di sekolahku harus berakhir. Yap, hari perpisahan. Sedih rasanya karena memang aku sudah kenal dan dekat dengan semua PPL yang ada disini. Aku menangis ketika melihat penampilan PPL menyanyikan lagu bertema perpisahan. Tak lama kemudian tiba-tiba ada yang menarik tanganku dan membawaku ke suatu tempat. Dan itu ternyata Pak Billy.
            “Pak Billy? Ada apa? Bikin kaget aja,” ucapku.
            “La, aku mau ngomong,” ucap Pak Billy kemudian.
            “Kan udah ngomong,” jawabku.
            “Yee Ila, kali ini serius,”
            “Serius udah bubar Pak, Afgan mau?”
            “Nggak, kan aku udah mirip Afgan,” si Pak Billy PD pooolll.
            “Afgan Sutisna,”
            “Bukannya Afgan Syahreza?”
            “Afgannya dikit, Sulenya yang banyak,”
            “Kok bisa Sule?”
            “Nananana, udah Pak tadi mau ngomong apa?
            “Aku suka sama kamu,” (weh to the point amat)
            “Hah? Apa?? Katanya serius Pak kok malah bercanda?!”
            “Katanya serius udah bubar?”
            “Oiya lupa,” (orang-orang stress)
            “Tapi aku ngga bercanda Ila, aku serius, sungguh-sungguh,”
            “Nggak mungkin lah. Umurku sama umurnya Pak Billy selisihnya jauuuuhh. Aku juga masih SMP, tapi kamunya udah kuliah. So, impossible,” ucapku tegas.
            “Cinta kan nggak memandang umur,”
            “Trus mandang apaan?”
            “Halah sok ga tau, soalnya kamu itu cantik seperti bidadari yang jatuh dari langit,” (ketahuan sering nonton Raja Gombal).
            “Ah, apaan sih Pak,”
            “Hemmb, gimana?”
            “Apanya?”
            “Ya ampun, kalo polos ya jangan polos-polos amat dong La, begini nih jadinya,”
            “Iya aku tau maksudnya kok. Oke, tapi 5 tahun lagi ya????”
            “What? 5 tahun bukan waktu yang sedikit,”
            “Ya emang, aku masih kecil Pak, kalo ga mau ya udah, ga papa, toh aku juga ga rugi kan,”
            “Huuffhh, aku coba deh, tapi janji ya,” Pak Billy mengulurkan jari kelingkingnya.
            “Janji,” aku pun membalasnya.
            “La, jangan panggil pak dong, emangnya aku udah tua banget ya?”
            “Mungkin, haha. Iya-iya, terus panggil apa dong? Kakek?”
            “Mbah,” jawabnya ngambek.
            “Wew, santai dong Pak,”
            “Tuh kan pak lagi,”
            “Lupa. Iya Kak Billy yang ganteng,” ucapku menggombalinya.
            “Nah gitu kan enak didenger,”
            “Oke. Ehmb, Kak, jangan lupain aku ya, kan hari ini perpisahan. Sering-sering main kesini ya, aku pasti merindukanmu,” tak terasa air mataku mengalir, lalu Kak Billy memelukku, ya ampun aku kaget banget, untung disitu cuma berdua (wah setan merajalela woy).
            “Nggak mungkin aku lupain kamu, Cantik. Aku janji pasti sering-sering kesini nengokin kamu. Kan kita berdua udah janji 5 tahun lagi. Jangan menangis, aku tak ingin melihat air matamu (auwah),” katanya sambil masih memelukku.
            “Iya, Kak. Makasih ya,”
            “Sama-sama,” pelukan pun dilepas.
            “Eh kakak ngapain meluk-meluk aku?” aku pura-pura marah.
            “Hehe, tadi aja pas dipeluk seneng, pas udah selesai marah-marah. Bilang aja mau dipeluk terus,”
            “Ih PD banget. Ya udah Kak, kembali ke aula yuk,”
            “Sip,” kami pun kembali ke aula.
            Ternyata acara hampir selesai. Aku duduk di kursi yang tersedia untuk murid sementara Kak Billy duduk bersama teman-teman PPL lainnya. Kami hanya saling memandang dan dia tersenyum devil, dasar. Ketika selesai, aula benar-benar sesak dipenuhi murid-murid yang berebut ingin bersalaman, berpelukan, dan foto-foto sama para PPL. Aku hanya duduk santai karena aku lupa tak membawa HP. Hemmbb. Satu jam berlalu. Anak-anak pada bubar sendiri-sendiri. Aku masih disitu bercanda bersama Kak Billy dan lainnya. Kami biasa saja dan terlihat seolah tak ada apa-apa. Kemudian 30 menit berlalu. Kini aku telah sampai di rumah dan para PPL sudah pulang semua. Hembb, masih terbayang wajah-wajah PPL, terutama Kak Billy, kocak dia. Ya sudahlah.


LIMA TAHUN KEMUDIAN

            Kini aku telah menjadi mahasiswi di Universitasnya Kak Billy yang dulu. Tapi sayangnya Kak Billy udah lulus dari beberapa tahun yang lalu. Dan aku juga nggak tau dia sekarang dimana. Hari ini adalah tepat 5 tahun saat perjanjian itu. Dan ini tanggal dan bulan yang sama seperti waktu itu. Tapi dimana Kak Billy? Kami benar-benar lost contact. Beberapa hari yang lalu ku coba mencari rumahnya tapi ternyata dia pindah. Nomer Hpnya juga udah nggak aktif. Bingung. Gelisah. Marah. Sedih. Kangen. Campur aduk deh.
            Dengan gontai aku berjalan-jalan melihat sekitar kampusku. Aku rada malez pulang. Di rumah sendirian. Ketika sedang enak-enaknya berjalan, tanpa sengaja aku menabrak seorang cowok yang . . . waw.
            “Eh sory, sory ya, ga sengaja,” ucapku.
            “Ga papa, kamu anak baru ya?”
            “Iya, kalo kamu?”
            “Udah lulus, lagi reunian sama temen-temen,”
            “Oh gitu,”
            “Nama kamu siapa?” tanyanya.
            “Ila, kamu?” aku mengulurkan tanganku untuk menyalaminya dan dia membalasnya tapi matanya tampak terbelalak kaget saat aku menyebut namaku.
            “Ila? Sheila Putri Hanif?” tanyanya memastikan namaku.
            “Lhoh kok tau?” tiba-tiba dia memelukku.
            “Aku Billy, Billy Andrean” dia pun melepaskan pelukannya.
            “Apah? Yang bener ajah?!” aku tak percaya, bagaimana bisa dia berubah menjadi setampan ini, padahal lima tahun yang lalu nggak setampan ini (haha, sory maz brow, semoga kenyataan walaupun ini hanya imajinasiku, hehe).
            “Iya, La, masa ga percaya sih?”
            “Tapi sekarang ganteng banget,” dia tersenyum malu.
            “Udah takdir, La, hehe,”
            “Kak Billy,” aku menatapnya.
            “Iya?”
            “Aku kangen sama kakak, tau nggak sih beberapa hari lalu aku . . .” belum selesai aku ngomong dia langsung meletakkan jari telunjuknya di bibirku.
            “Aku tau, La. Maafin aku ya yang udah nggak ngabarin kamu. Aku bener-bener minta maaf,”
            “Terus kenapa harus nglakuin ini Kak? Menyiksa tau nggak?!”
            “Kok bisa? Apa kamu . . . ??”
            “Ah apaan sih,”
            “Oke. Gini La, aku cuma mau memastikan apakah kamu itu jodohku atau bukan. Aku sengaja ganti nomer tanpa ngasih tau kamu. Sebenernya rumahku nggak pindah, aku cuma pergi sebentar dan aku nyuruh tetanggaku untuk bilang begitu karena aku yakin yang dateng pasti kamu. Dan aku pun berfikir, kalau memang kita jodoh, kita pasti bisa ketemu lagi walaupun tanpa kontak. Dan sekarang . . . “ dia tersenyum, manis sekali (boong).
            “Mungkinkah kalau kita . . . ??”
            “Sangat mungkin,” aku langsung memeluknya erat (sok romantiss) dan dia membalasnya erat pula.
Kemudian tiba-tiba . . . aku mendengar tepukan tangan yang banyak dan heboh. Aku melepas pelukan itu dan melihat siapakah mereka. Aku menamatkan wajahnya satu per satu dan setelah sadar, ternyata mereka adalah para PPL yang dulu mengajar di sekolahku. Aku tersenyum malu.
            “Hei, sejak kapan kalian disitu?” tanya Kak Billy, rupanya dia juga terkejut.
            “Sejak tadi,” jawab Kak Arian  ngasal.
            “Nggak nyangka, ternyata di SMP dulu ada cinlok antara guru dengan muridnya. Huuuu,” kata Kak Nessa.
            “Huuuuuuu,” mereka juga ikut nyorak sambil bertepuk tangan.
Kak Billy malah cengengesan sambil merangkulku.
            Sejak saat itu aku pun memenuhi janjiku untuk menerima cintanya 5 tahun yang lalu. Kami bahagia sampai sekarang. Semoga ini kan abadi. Aku mencintai Kak Billy apa adanya, terlebih karena dia baik dan selalu ada buat aku walaupun usia kita terpaut jauh. Dia juga setia dan pengertian. Begitupun dia, dia mencintai apa adanya diriku. Teman-temannya dan teman-temanku juga selalu mendukung kami. Hal itu menambah lengkapnya kebahagiaan kami.

                                                               The End

2 komentar: